Perlindungan
konsumen
Pengertian perlindungankonsumen menurut undang-undang nomor 8 tahun 1999 pasal 1 ayat 1, Perlindungankonsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum
untuk memberi perlindungan kepada konsumen.
Sedangkan konsumen menurut
undang-undang nomor 8 tahun 1999 pasal 1 ayat 2, Konsumen adalah
setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam
masyarakat,
baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk
hidup
lain dan tidak untuk diperdagangkan.
Dan
Pengertian pelaku usaha menurut Undang-Undang nomor 8 tahun 1999 tentang
perlindungan konsumen pasal 1 ayat 3, pelakuusaha adalah. setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang
berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan
atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik
sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha
dalam berbagai bidang ekonomi.
Tanggung Jawab Pelaku Usaha
Tanggung jawab pelaku usaha
tercantum dalam Undang-Uundang perlindungan konsumen pasal 19 yaitu :
UU No.8 tahun 1999 Pasal 19,
1). Pelaku usaha
bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau
kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau
diperdagangkan.
2). Ganti rugi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau
penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau
perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
3). Pemberianganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal
transaksi.
4). Pemberian
ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menghapuskan
kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai
adanya unsur kesalahan.
5). Ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku apabila pelaku
usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen.
Inti dari pasal di atas adalah
pelaku usaha bertanggung jawab atas segala kerugian yang timbul dari hasil
produk/jasanya. Seperti yang di sebutkan pada pasal 19 ayat 1, Pelaku usaha
bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau
kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau
diperdagangkan.
Berdasarkan ayat 2 pasal yang sama,
Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang
atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau
perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pemberian ganti rugi tidak menghapus
kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai
adanya unsure kesalahan.
Contoh kasus
Sering
kali apabila kita belanja di super market mupun mini market tidak meliat batas
kadaluarsa satu produk atau suatu karna
keyakinan kita akan supermarket. Namun kadang
kepercayaan konsumen tercoreng karena adanya produk yang sudah
kadaluarsa yang masih di jual di supermarket, dan apabila produk atau suatu
barang yang sudah kadaluarsa ini terbebeli
oleh konsumen dan konsumen mengetahui dan menyadari barang itu kadaluarsa
setelah dia mengkonsumsinya sangat sulit bagi konsumen untuk meminta
pertanggung jawaban atau ganti rugi kepada pihak supermarket di karenakan
barang telah terpakai atau telah di konsumsi oleh konsumen.
Pada kasus ini apa bila konsumen
tidak ngotot kepada pihak supermaeket untuk mengganti rugi tidak akan di
tanggapi oleh pihak supermarket dan biasanya pihak produsen atau pelaku usaha
mempunya syarat-syarat yang harus di penuhi konsumen.
Analisi kasus
Seharusnya pihak supermarket
menganti rugi atas kerusakan atau kerugian konsumen yang mana telah di atur
dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
perlindungan
konsimen pasal 19.
Sebagaimana umum terjadi, hubungan antara konsumen dengan
pelaku usaha seringkali bersifat subordinat. Kedudukan produsen/pelaku usaha
yang lebih kuat salah satunya dilakukan dengan menetapkan syarat-syarat sepihak
yang harus disetujui dan diikuti oleh konsumen.
Syarat sepihak ini dikenal pula
dengan istilah ”klausula baku”. Bisnis perparkiran sendiri sebenarnya adalah
bisnis yang menjanjikan keuntungan besar bagi pengelolanya. Karena itu jaminan
perlindungan hukum kepada konsumen harus lebih diseimbangkan.
Pengertian klausula baku terdapat
dalam pasal 1 butir 10 UUPK yang menyatakan bahwa klausula baku adalah setiap
aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan
terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu
dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.
Sesungguhnya pencantuman klausula
baku ini telah dilarang oleh UUPK. Mengenai larangan pencantuman klausula baku,
Pasal 18 UUPK menyatakan bahwa pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau
jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan
klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian, di antaranya apabila
klausula tersebut menyatakan pengalihan tanggungjawab pelaku usaha dan
menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berwujud sebagai aturan
baru, tambahan, lanjutan atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh
pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya. Pelaku usaha
juga dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit
terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas yang pengungkapannya sulit
dimengerti.
Setiap klausula baku yang telah
ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi
ketentuan tersebut dinyatakan batal demi hukum. Dalam penjelasan UUPK
dinyatakan bahwa larangan ini dimaksudkan untuk menempatkan kedudukan konsumen
setara dengan pelaku usaha berdasarkan prinsip kebebasan berkontrak. Asas
kebebasan berkontrak, di satu sisi, memang seolah-olah mengesahkan keberadaan
klausula baku tersebut.
Selama para pihak yang terlibat
setuju-setuju saja maka tidak ada yang perlu dipermasalahkan. Namun di sisi
lain asas kebebasan berkontrak tidaklah adil bila diterapkan pada dua pihak
yang memiliki posisi tawar yang tidak seimbang.
Dalam kasus ini kedudukan konsumen
memang lebih rendah jika d bandingkan pelaku usaha yang seharusnya adalah tidak
demikian. Dalam pasal 9 ayat 1 UUPK jelas di sebutkan bahwa Pelaku usaha
bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau
kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau
diperdagangkan. Jadi dalam kasus ini undang undang yang ada tidak sejalan
dengan kenyataan yang terjadi.
0 komentar:
Posting Komentar