Selasa, 06 November 2012

Perlindungan konsumen


Perlindungan konsumen

Pengertian perlindungankonsumen menurut undang-undang nomor 8 tahun 1999 pasal 1 ayat 1, Perlindungankonsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen.
Sedangkan konsumen menurut undang-undang nomor 8 tahun 1999 pasal 1 ayat 2, Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam
masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk
hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.
Dan Pengertian pelaku usaha menurut Undang-Undang nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen pasal 1 ayat 3, pelakuusaha adalah. setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.
Tanggung Jawab Pelaku Usaha
Tanggung jawab pelaku usaha tercantum dalam Undang-Uundang perlindungan konsumen pasal 19 yaitu :
UU No.8 tahun 1999 Pasal 19,
1).        Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.
2).        Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
3).        Pemberianganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi.
4).    Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan.
5).        Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen.
Inti dari pasal di atas adalah pelaku usaha bertanggung jawab atas segala kerugian yang timbul dari hasil produk/jasanya. Seperti yang di sebutkan pada pasal 19 ayat 1, Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.
Berdasarkan ayat 2 pasal yang sama, Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pemberian ganti rugi tidak menghapus kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsure kesalahan.
Contoh kasus
Sering kali apabila kita belanja di super market mupun mini market tidak meliat batas kadaluarsa satu produk atau suatu  karna keyakinan kita akan supermarket. Namun kadang  kepercayaan konsumen tercoreng karena adanya produk yang sudah kadaluarsa yang masih di jual di supermarket, dan apabila produk atau suatu barang  yang sudah kadaluarsa ini terbebeli oleh konsumen dan konsumen mengetahui dan menyadari barang itu kadaluarsa setelah dia mengkonsumsinya sangat sulit bagi konsumen untuk meminta pertanggung jawaban atau ganti rugi kepada pihak supermarket di karenakan barang telah terpakai atau telah di konsumsi oleh konsumen.
            Pada kasus ini apa bila konsumen tidak ngotot kepada pihak supermaeket untuk mengganti rugi tidak akan di tanggapi oleh pihak supermarket dan biasanya pihak produsen atau pelaku usaha mempunya syarat-syarat yang harus di penuhi konsumen.
Analisi kasus
            Seharusnya pihak supermarket menganti rugi atas kerusakan atau kerugian konsumen yang mana telah di atur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsimen pasal 19.
            Sebagaimana umum terjadi, hubungan antara konsumen dengan pelaku usaha seringkali bersifat subordinat. Kedudukan produsen/pelaku usaha yang lebih kuat salah satunya dilakukan dengan menetapkan syarat-syarat sepihak yang harus disetujui dan diikuti oleh konsumen.
Syarat sepihak ini dikenal pula dengan istilah ”klausula baku”. Bisnis perparkiran sendiri sebenarnya adalah bisnis yang menjanjikan keuntungan besar bagi pengelolanya. Karena itu jaminan perlindungan hukum kepada konsumen harus lebih diseimbangkan.
Pengertian klausula baku terdapat dalam pasal 1 butir 10 UUPK yang menyatakan bahwa klausula baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.
Sesungguhnya pencantuman klausula baku ini telah dilarang oleh UUPK. Mengenai larangan pencantuman klausula baku, Pasal 18 UUPK menyatakan bahwa pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian, di antaranya apabila klausula tersebut menyatakan pengalihan tanggungjawab pelaku usaha dan menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berwujud sebagai aturan baru, tambahan, lanjutan atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya. Pelaku usaha juga dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas yang pengungkapannya sulit dimengerti.
Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan tersebut dinyatakan batal demi hukum. Dalam penjelasan UUPK dinyatakan bahwa larangan ini dimaksudkan untuk menempatkan kedudukan konsumen setara dengan pelaku usaha berdasarkan prinsip kebebasan berkontrak. Asas kebebasan berkontrak, di satu sisi, memang seolah-olah mengesahkan keberadaan klausula baku tersebut.
Selama para pihak yang terlibat setuju-setuju saja maka tidak ada yang perlu dipermasalahkan. Namun di sisi lain asas kebebasan berkontrak tidaklah adil bila diterapkan pada dua pihak yang memiliki posisi tawar yang tidak seimbang.
Dalam kasus ini kedudukan konsumen memang lebih rendah jika d bandingkan pelaku usaha yang seharusnya adalah tidak demikian. Dalam pasal 9 ayat 1 UUPK jelas di sebutkan bahwa Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan. Jadi dalam kasus ini undang undang yang ada tidak sejalan dengan kenyataan yang terjadi.

0 komentar:

Posting Komentar